Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Gambar Produk 1
Jasa Desain Kaos, Desain Batik , LOGO dan desain grafis lainya
Email : mastertracer69@gmail.com

Tata Cara Bacaan Shalat Gerhana Matahari Dan Shalat Gerhana Bulan

tata-cara-bacaan-shalat-gerhana-matahari-dan-sholat-gerhana-bulan
Tata Cara Bacaan Shalat Gerhana Matahari Dan Shalat Gerhana Bulan - Shalat Gerhana adalah shalat sunnat 2 rakaat yang dikerjakan ketika terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan. Bila terjadi Matahari maka shalat sunnah yang dikerjakan disebut sholat sunnat SHALAT KUSUF. dan bila terjadi gerhana bulan maka sholat sunnah yang dikerjakan disebut dengan sholat sunnat SHALAT KHUSUF. Gerhana secara ilmiah merupakan fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain, menurut proses kejadiannya gerhana itu ada jenis macam gerhana yaitu gerhana matahari ( kusuf ) dan gerhanan bulan ( khusuf ) . 

Gerhana Matahari terjadi ketika posisi Bulan terletak di antara Bumi dan Matahari, sedangkan Gerhana Bulan terjadi ketika sebagian atau keseluruhan penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Gerhana merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang mengatur peredaran bumi , bulan dan matahari sesuai peredarannya. Sebagai orang yang beriman dan bertaqwa manakala terjadi Gerhana baik itu gerhana bulan maupun gerhana matahari, sebaiknya memperbanyak dzikrullah , berdzikir kepada Allah SWT dengan takbir, tasbih, tahmid dan tahlil , memohon ampunan dan melaksanakan sholat gerhana . Namun sangat disayangkan peristiwa gerhana matahari yang lalu sempat menjadi tontonan khalayak umum sampai penjuru dunia bahkan di liput dia cara tv televisi nasional melalui melalui liputan siaran langsung segala, bukannya rame -rame berdzikir bersama..inilah fenomena akhir zaman

Shalat gerhana disebut Shalat Kusuf (صَلاَةُ الْكُسُوْفِ) untuk sholat gerhana matahari atau Shalat Khusuf (صَلاَةُ اْلخُسُوْفِ) untuk sholat gerhana bulan . Kusuf dan Khusuf keduanya bermakna sama yaitu gerhana. Namun secara bahasa, orang Arab sering menggunakan Kusuf untuk gerhana matahari sementara istilah Khusuf digunakan untuk gerhana bulan . Pembedaan ini tidak bersifat mengikat dan kaku.

Hukum Shalat Gerhana

Hukum Shalat gerhana adalah Sunnah Muakkad tanpa membedakan apakah gerhana matahari maupun gerhana bulan, dalam kondisi safar maupun Muqim. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Shalat gerhana hanya disunnahkan untuk gerhana matahari sementara gerhana bulan tidak dengan beralasan Nabi SAW tidak pernah Shalat gerhana bulan, maka pendapat ini tertolak oleh Hadis berikut;

عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

“Dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang berkata; Dia (matahari) mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal) kembali” (H.R.Bukhari)

Hadits di atas jelas menyebut gerhana matahari dan bulan. Perintah untuk Shalat gerhana tidak dikhususkan untuk gerhana matahari. Karena itu sunnahnya Shalat gerhana berlaku untuk gerhana matahari sekaligus gerhana bulan. Diriwayatkan, Ibnu Abbas Shalat gerhana bulan di Bashroh mengimami penduduknya dan mengatakan bahwa beliau melihat Rasulullah SAW melakukannya.

Untuk gempa, gunung meletus, banjir, angin kencang dan tanda-tanda alam yang lain, maka tidak disyariatkan Shalat karena Nash yang ada hanya untuk gerhana. Tanda-tanda alam yang lain tidak bisa diqiyaskan karena tidak ada Qiyas dalam ibadah.

Sunnah Berjamaah

Shalat gerhana sunnah dilakukan secara shalat berjamaah. Dalilnya adalah Hadis berikut;

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ

“Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa hidup Nabi SAW. Maka beliau keluar menuju masjid lalu membariskan orang-orang dibelakang beliau “ (H.R.Bukhari)

Lafadz “فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ” (lalu membariskan orang-orang dibelakang beliau) menunjukkan Nabi SAW membariskan kaum Muslimin dibelakangnya untuk membuat Shof Jamaah. Karena itu Hadis ini menjadi Dalil kesunnahannya. Namun Shalat Munfarid (sendirian) juga sah. Dasarnya adalah perintah mutlak dari Nabi SAW yang memerintahkan Shalat gerhana pada Hadis sebelumnya, yaitu lafadz “وَصَلُّوا” (Shalatlah kalian). Perintah “Shalatlah kalian” ini bersifat mutlak, bisa dilakukan berjamaah sebagaimana bisa dilakukan sendirian. Muslim yang melakukannya secara berjamaah berarti telah melaksanakan Hadis tersebut sebagaimana muslim yang melakukannya Munfarid juga telah melaksanakan Hadis tersebut.

Waktu pelaksanaan

Awal waktu saat Shalat gerhana mulai diizinkan adalah ketika gerhana mulai terjadi. Pada saat itu Shalat gerhana sudah boleh dilakukan. Jika pelaksanaannya sebelum terjadi gerhana, lalu ditengah-tengah Shalat, baru gerhananya terjadi maka shalatnya tidak sah karena Shalat tersebut dilakukan sebelum masuk waktu. Hal ini sama dengan orang yang Shalat Dhuhur jam 10 pagi atau Shalat ashar jam 13.00. Akhir waktunya ditandai ketika matahari/bulan kembali normal. Dalam rentang waktu tersebut Shalat gerhana sah dilakukan. Seorang muslim bisa memilih di awal waktu, ditengahnya atau di akhir. Jika dia Shalat di akhir waktu, lalu ditengah Shalat gerhana sudah lenyap, maka Shalatnya tetap disempurnakan dan dihitung sah, karena dia telah mengawali Shalat pada waktunya. Dalil yang menunjukkan waktu pelaksanaan Shalat gerhana dimulai saat gerhana dan habis saat gerhana lenyap adalah Hadis sebelumnya yaitu;

صحيح البخاري 

عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

“Dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang berkata; Dia (matahari) mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal) kembali” (H.R.Bukhari)

Lafadz “فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا” (Jika kalian melihatnya) menunjukkan awal waktu karena pada saat terjadi gerhana, baru Shalat disyariatkan, sementara lafadz “حَتَّى يَنْجَلِيَ”( sampai terang (normal) kembali) menunjukkan akhir waktu karena diawali Harf ‘hatta” yang menunjukkan batas tujuan akhir. Jika gerhana berbenturan dengan Shalat yang lain, misalnya Shalat Jumat, Shalat Ied, Shalat Istsqo dll, maka yang didahulukan adalah yang paling wajib, dan yang lebih kuat kesunnahannya. Jika gerhana terjadi pada waktu yang dilarang untuk Shalat, misalnya terjadi sesudah Ashar, atau sesudah Shubuh, atau saat matahari tepat di atas kepala, maka Shalat gerhana tidak disyariatkan. Karena waktu-waktu yang dilarang dipakai untuk Shalat bersifat umum untuk semua Shalat termasuk Shalat gerhana.

Tempat Pelaksanaan

Disunnahkan Shalat gerhana dilakukan di Masjid karena Rasulullah SAW melakukannya di Masjid. Kesunnahan ini tidak membedakan apakah Shalat gerhananya dilakukan berjamaah ataukah Munfarid.

صحيح البخاري 

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ

“Dari Aisyah istri Nabi SAW bahwasanya beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa hidup Nabi SAW. Maka beliau keluar menuju masjid lalu membariskan orang-orang di belakang beliau “ (H.R.Bukhari)

Jika dilakukan tidak di masjid misalnya di rumah, lapangan, halaman dll, maka tetap sah karena masjid bukan syarat keabsahannya.


Tidak disyariatkan Adzan dan Iqomat untuk mengawali Shalat gerhana tetapi cukup menyerukan الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ Dasarnya adalah Hadis berikut;


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – قَالَ لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نُودِىَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

“Dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata; Tatkala matahari mengalami gerhana di masa Rasulullah SAW maka diumumkan ‘Assholata Jami’ah” (H.R.Bukhari)

Jumlah Rokaat

Jumlah Rokaat Shalat gerhana adalah dua. Dasarnya akan difahami dari sejumlah Hadis yang akan disebutkan di bawah

Tatacara Pelaksanaan

Untuk memudahkan dalam memahami, tatacara pelaksanaan Shalat gerhana akan dijelaskan dalam bentuk urutan sebagai berikut;

1. Niat. Cukup menyengaja dalam hati, tidak harus dilafalkan.
2. Takbiratul ihram
3. Membaca doa iftitah. Doa iftitah yang dibaca bebas, bisa memilih yang pendek, pertengahan maupun yang panjang asalkan didasarkan pada riwayat yang shahih. Doa iftitah dibaca pelan
4. Membaca Ta’awudz. Ta’awudz juga dibaca dengan pelan
5. Membaca surat Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah dibaca dengan keras
6. Membaca surat. Jika mampu membaca surat Al-Baqoroh atau surat lain yang panjangnya kira-kira sama. Jika tidak mampu surat Al-Baqoroh, maka bebas memilih surat yang lain, baik yang panjang maupun yang pendek.
7. Ruku’. Ruku’ dilakukan dengan lama, kira-kira selama orang membaca 100 ayat. Bacaan Tasbih saat Rukuk bebas asalkan didasarkan pada riwayat yang shahih
8. I’tidal. Pada saat ini, bacaan Tasmi’ (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) Dilafalkan
9. Membaca Al-Fatihah kedua. Selesai membaca Tasmi’ tangan disedekapkan lagi lalu membaca Al-Fatihah untuk yang kedua kali. Inilah yang membedakan dengan Shalat-Shalat biasa. Jika pada Shalat biasa setelah I’tidal langsung Sujud, maka pada Shalat gerhana setelah I’tidal berdiri lagi untuk membaca.
10. Membaca surat. Jika mampu membaca surat Ali Imran atau surat lain yang panjangnya kira-kira sama. Jika tidak mampu surat Ali Imran, maka bebas memilih surat yang lain baik yang panjang maupun yang pendek.
11. Ruku’. Ruku’ dilakukan dengan lama, tetapi lebih pendek sedikit daripada Rukuk yang pertama. Bacaan Tasbih saat Rukuk bebas asalkan didasarkan pada riwayat yang shahih
12. I’tidal. Pada saat ini, bacaan Tasmi’ (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) Dilafalkan
13. Sujud. Setelah I’tidal dan membaca Tasmi’ , Sujud langsung dilakukan. Sujud juga diusahakan lama. Sujud dilakukan dua kali yang disela-selai duduk diantara dua Sujud sebagaimana Shalat biasa
14. Berdiri dari Sujud untuk melakukan Rokaat yang kedua. Pada Rokaat yang kedua ini yang dilakukan sama persis dengan Rokaat yang pertama, hanya saja durasi waktunya lebih pendek. Al-Fatihah dan surat dibaca, lalu Rukuk, lalu I’tidal lalu membaca lagi Al-Fatihah dan surat lalu Rukuk lalu I’tidal. Sebagaimana dalam Rokaat pertama dilakukan dua kali berdiri dan dua kali Rukuk, maka pada Rokaat yang kedua ini juga dilakukan dua kali berdiri dan dua kali Rukuk.
15. Sujud. Setelah I’tidal, maka gerakan dilanjutkan dengan Sujud dua kali yang disela-selai duduk diantara dua Sujud. Sujud pada Rokaat yang kedua ini juga lama, tetapi lebih pendek daripada Sujud pada Rokaat pertama
16. Salam

Dalil dari urutan ini adalah Hadis berikut yang didukung dan diperjelas dengan Hadis-Hadis yang lainnya;

صحيح مسلم 

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا هُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ

“Dari Aisyah istri Nabi SAW beliau berkata; Matahari mengalami gerhana pada masa hidupnya Rasulullah SAW . Maka beliau keluar menuju masjid kemudian berdiri lalu bertakbir sementara orang-orang berbaris di belakang beliau. Kemudian Rasulullah SAW membaca (bacaan) lama. Lalu bertakbir, lalu Rukuk lama. Kemudian beliau mengangkat kepalanya lalu mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. Lalu beliau berdiri kemudian membaca dengan panjang tetapi lebih pendek darpada bacaan yang pertama. Kemudian beliau bertakbir lalu Rukuk dengan lama tetapi lebih pendek daripada Rukuknya yang pertama. Kemudian berkata سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ kemudian bersujud. Kemudian beliau melakukan hal itu pada Rokaat yang lain (yang kedua) hingga beliau menggenapi empat Rukuk dan empat Sujud. Dan matahari telah menjadi terang (normal) sebelum beliau selesai. (H.R.Muslim)

Tentang ketentuan Al-Fatihah dan surat dibaca dengan Jahr (keras) maka Dalilnya adalah Hadis berikut;

صحيح مسلم

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَهَرَ فِي صَلَاةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

“Dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW mengeraskan bacaannya pada saat Shalat gerhana” (H.R.Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَجَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ كُلَّمَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ».

“Dari Aisyah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau Shalat empat kali Rukuk dalam empat kali Sujud dan membaca dengan keras bacaannya. Setiap beliau mengangkat kepalanya beliau mengucapkan سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ (H.R.An-Nasai)

Khutbah Shalat Kusuf

Disunnahkan setelah selesai Shalat Kusuf, Imam melakukan khutbah.

Dasarnya adalah Hadis berikut;

صحيح البخاري

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ … ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا

“Dari Aisyah bahwasanya beliau berkata:…. Kemudian beliau berpaling sementara matahari telah menjadi terang (normal). Maka beliau berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau memuji Allah dan menyanjungnya kemudian berkata; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang atau hidupnya. Jika kalian melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah, Shalatlah dan bershodaqohlah. Kemudian beliau bersabda; Wahai ummat Muhammad. Tidak ada seseorang yang lebih pencemburu daripada Allah ketika (melihat) hamba laki-lakinya berzina atau hamba perempuannya berzina. Wahai ummat muhammad, demi Allah seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis” (H.R.Bukhari).

Khutbah yang dilakukan cukup satu kali, tidak perlu dua kali dengan mengqiyaskan pada khutbah Jum’at. Jumlah khutbah cukup sekali karena dhohir Hadis di atas memang hanya sekali. Lagipula, dalam urusan ibadah tidak boleh ada Qiyas.

Amalan Sunnah Saat Gerhana

Selain Shalat, amalan lain yang disyariatkan saat terjadi gerhana adalah berdoa, dzikir, istighfar, shodaqoh, membebaskan budak dan semua amal-amal Taqorrub lainnya. Dasarnya adalah riwayat berikut;

صحيح البخاري

عَنْ أَبِي مُوسَى …فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ

“Dari Abu Musa:….Jika kalian melihat hal itu maka bersegeralah dengan gentar untuk mengingatnya, berdoa kepadanya dan meminta ampun kepadanya” (H.R.Bukhari)

مسند أبي عوانة

عن أسماء قالت إن كنا لنؤمر بالعتق عند الخسوف

“Dari Asma’ beliau berkata; Kami diperintahkan membebaskan (budak) pada saat gerhana” (H.R.Abu ‘Awanah)

Baca Juga Artikel Menarik Lainnya


Demikian tuntunan lengkap tata cara sholat gerhana matahari dan gerhana bulan , semoga peristiwa gerhana bulan dan gerhana matahari dijadikan pengingat kekuasaan dan teguran dari Allah SWT agar lebih bertaqwa dan bersyukur atas nikmat Nya.